Cerita dibalik Teori Sumber Kebahagiaan
[DRAFT 1] - Awal Mula
Namaku Ariansyah, seorang manusia biasa yang berani merantau
untuk menempuh pendidikan SMK di daerah Garut. Berangkat dengan modal keikhlasan untuk
belajar mandiri.
Seperti biasa, saat pagi aku mempersiapkan segala keperluan
untuk berangkat sekolah, termasuk sarapan dan seragam yang akan digunakan.
Berangkatlah ke sekolah saat itu, bertemu dengan teman-teman
baru, yang baru ku kenal setelah beberapa minggu baru mulai masuk sekolah.
Aku duduk didepan kelas baruku, menikmati suasana baru yang
tidak ku dapatkan saat ku duduk dibangku SMP.
Dari sinilah awalnya aku tidak
pernah percaya dengan yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku
pikir, ketika seorang laki-laki melihat perempuan, kemudian dalam waktu lebih
dari 30 detik tidak mengalihkan pandangannya, itu hanya sebatas suka atau kagum
saja. Tapi ternyata tidak!
Dalam risetpun menyebutkan bahwa ketika kita mampu melihat lawan
bicara lebih dari 30 detik, itu menunjukkan bahwa kita merasa nyaman.
Jadi, ini bukan tentang soal rasa nyaman yang hanya 30 detik
langsung hilang, melainkan setiap pandangan yang ku lakukan selalu ada
kebahagiaan yang tak bisa terjelaskan.
Saat itu aku tidak tahu namanya, hanya tahu aksesoris yang
dia kenakan dipergelangan tangannya. Sehingga menjadi bahan pertanyaanku kepada
teman sekelas, yang kebetulan temanku ini adalah teman satu organisasinya.
“fin, itu nu make jam tangan ungu saha euy? Asup osis da” -ini adalah pertanyaan dalam bahasa sunda yang waktu itu ku tanyakan kepada
teman sekelas, fino namanya.
“nu mana?” -inilah keunikkan temanku, ketika sebuah
pertanyaan dijawab dengan pertanyaan. Ku pikir, dia langsung tahu.
“pokokna mah aya nu berkerudung pake jam tangan ungu,
teangan weh nya. Mun geus apal nama na bejaan urang” -ini adalah sebuah kalimat
perintah dari teman kepada teman. maafkan.
Setiap pagi sebelum masuk, ku rutinkan duduk didepan kelas
terlebih dahulu. Dengan harapan yang diharapkan lewat didepan mata.
Ya meski dari kejauhan.
Saat itupun ku percaya, bahkan sangat percaya bahwa “Kebahagiaan
itu kita sendiri yang ciptakan.” Saat yang ku tunggu ternyata berjalan menuju
kelasnya, kelasnya berada di lantai 1.
Tidak lama dari kejadian membahagiakan itu, datanglah
kebahagiaanku selanjutnya. Teman sekelasku yang masuk organisasi dengannya, sudah
tahu nama perempuan yang aku maksud, namanya adalah Ina, dia orang Malang, dan ternyata Ina juga ngekost di belakang sekolah.
Bersambung ke DRAFT 2